BAB I
PENDAHULUAN
Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (School Bassed Management),
pertama kali muncul di Amerika serikat. Berawal dari harapan masyarakat agar
para siswa yang mengenyam pendidikan, akan dapat menerapkan ilmu yang
dimilikinya dalam dunia kerja atau usaha.
Fenomena tersebut oleh Pemerintah, khususnya pihak sekolah dan
masyarakat diantisipasi dengan melakukan upaya perubahan dan penataan kembali
managemen sekolah. Untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja terhadap output
pendidikan yang kompeten tersebut, sehingga Pemerintah dan Sekolah sepakat
untuk melakukan reformasi terahadap manajemen sekolah yang mengacu pada
kebutuhan kompetitif.
Penataan sekolah melalui konsep MBS, yang diartikan sebagai wujud
dari reformasi pendidikan , diarahkan untuk meredesain dan memodifikasi
struktur pemerintah menjadi sekolah yang berkonsep pemberdayaan sekolah. Fokus
pemberdayaan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan otonomi dan
profesionalisme sekolah dan mengarah pada kualitas pendidikan tersebut.[1]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Tujuan MBS
Manajemen berbasis sekolah menurut Chapman (1990) adalah
suatu pendekatan politik yang bertujuan untuk meredesain pengelolaan sekolah,
memberikan kekuasaan dan meningkatkan partisipasi sekolah, memperbaiki kinerja
sekolah yang mencakup pimpinan sekolah, guru, siswa, orang tua siswa dan
masyarakat, sehingga sekolah lebih mandiri dan mampu menentukan arah
pengembangan sesuai kondisi dan tuntutan lingkungan masyarakatnya. [2]
Tujuan dari manajemen berbasis sekolah, antara lain :
1.
Menjamin mutu pembelajaran peserta didik yang berpijak
pada asas pelayanan dan prestasi hasil belajar.
2.
Meningkatkan
kualitas transfer ilmu pengetahuan dan membangun karakter bangsa yang
berbudaya.
3.
Meningkatkan
mutu sekolah dengan memantapkan pemberdayaan melalui kemandirian, kreativitas,
inisiatif, dan inovatif dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya sekolah.
4.
Meningkatkan
kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
melalui pengambilan keputusan dengan mengakomodir aspirasi bersama.
5.
Meningkatkan
tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat dan pemerintah tentang mutu
sekolah.
6.
Meningkatkan
kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.[3]
Desentralisasi
Fungsi Manajemen Sekolah[4]
B.
Prinsip dan Essensi MBS
Manajemen berbasis sekolah memiliki prinsip, yaitu reformasi
manajemen sekolah terhadap kewajiban, kewenangan, profesionalisme dan tanggung
jawab, serta transparansi untuk meningkatkan kinerja sekolah. Pihak yang
berkepentingan dalam MBS, antara lain : Siswa, orang tua siswa, guru,
masyarakat, Stakeholder, lapangan kerja, dsb yang dapat mengenali perubahan dan
memiliki kekuasaan dalam mengoptimalisasi sumber daya.
Implementasi
MBS menuntut derajat profesionalisme yang tinggi, khususnya bagi mereka yang
terkait dengan manajemen pendidikan. Wahlstetter dan Smyer (1994), mengutip
pendapat Sizer (1992), mengemukakan bahwa essensi pengembangan MBS adalah
pembinaan intelektual pemikiran para siswa. Tujuan umum dan khususnya berkaitan
dengan pembinaan ketrampilan siswa dan pengetahuan khusus, hubungan khususn
antara siswa dan guru, pandangan siswa dalam menerima berbagai Informasi,
eksibisi para siswa dari skill dan pengetahuan yang telah diperoleh, sikap yang
santun penuh kepercayaan, sifat yang generalis dan spesialis, dan biaya yang
dibutuhkan untuk pengembangan sekolah, MBS dapat memperkuat strategi
pengorganisasian dengan memperkuat alokasi anggaran, pemberdayaan guru dan
personel, serta memadukan fungsi organisasi dengan keputusan yang strategis.
MBS
bertujuan untuk meningkatkan mutu sebagai wujud dari reformasi pendidikan
dengan prinsip memperoleh delegasi kewenangan yang bertumpu pada sekolah dan
masyarakat dan jauh dari praktik Birokrasi sentralistik yang selama ini
dijalankan. MBS menuntut komitmen yang kuat dari semua unsur sekolah terkait.
Manajemen
berbasis sekolah memiliki essensi berupa kewenangan (otonomi) yang lebih besar
dalam mengelola dan memberdayakan sekolah, dengan lebih mandiri, inovatif dan
kreatif. Dengan kata lain, MBS secara essensial adalah sebuah sistem otonomi
sekolah dan pengambilan keputusan partisipatif untuk mencapai sasaran mutu
sekolah yang ditargetkan oleh prinsip kepemimpinan kepala sekolah yang kuat
pendiriannya dan guru yang profesional.[5]
C.
Pola Manajemen Berbasis Sekolah.
Dalam
kerangka implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan, MBS dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu pendekatan yang mampu menjanjikan peningkatan
kualitas dan relevansi pendidikan disetiap daerah.
Desentralisasi
sistem pemerintahan daerah memberi kebebasan yang luas bagi pemerintah daerah
untuk memfasilitasi pengelolaan pendidikan, tetapi bukan berarti bebas tanpa
batas atau terlepas dari kontrol pemerintah pusat. Hal yang perlu diperhatikan
dalam sistem desentralisasi adalah sistem rekruitmen guru dan siswa, penempatan
personalia, pengembangan kurikulum untuk kepentingan daerah, dsb.
D.
Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah.
MBS
memiliki karakteristik yang sama dengan sekolah yang efektif, yaitu :
1)
Memiliki
output (prestasi pembelajaran dan manajemen sekolah yang efektif) seperti yang
diharapkan.
2)
Efektivitas
proses belajar mengajar yang tinggi.
3)
Peran
kepala sekolah yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan
menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia.
4)
Lingkungan
dan Iklim belajar yang aman, tertib, dan nyaman (enjoyable learning),
sehingga manajemen sekolah lebih efektif.
5)
Analisis
kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kinerja, hubungan kerja, dan
imbal jasa tenaga kependidikan dan guru sehingga mereka mampu menjalankan
tugasnya dengan baik.
6)
Pertanggungjawaban
(akuntabilitas) sekolah kepada publik terhadap keberhasilan program yang telah
dilaksanakan.
7)
Pengelolaan
dan penggunaan anggaran yang sepantasnya dilakukan oleh sekolah sesuai dengan
kebutuhan riil.[6]
E.
Komponen dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Pusat
Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Agama dan Keagamaan Depag RI telah
mendapatkan kata kunci diberlakukannya MBS, yaitu terletak pada 4 komponen,
antara lain :
1.
Pelimpahan
dan Pembagian Wewenang.
2.
Informasi
dua arah dan Tanggung jawab untuk kemajuan.
3.
Bentuk
dan Distribusi Penghargaan
4.
Penetapan
Standar Pengetahuan dan Ketrampilan. [7]
F.
Peran Kepala Sekolah Sebagai Manajer.
Dalam rangka melakukan peran dan fungsinya sebagai manajer, Kepala
Sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk mendayagunakan tenaga
kependidikan melalui kerjasama, memberi kesempatan kepada tenaga kependidikan
untuk meningkatkan profesinya, dan mendorong keterlibatan seluruh tenaga
kependidikan dalam berbagai kegiatan yang menunjang program sekolah.
Pedoman yang harus dimiliki oleh Kepala Sekolah dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya, antara lain :
1.
Asas
Tujuan.
2.
Asas
Keunggulan.
3.
Asas
Mufakat.
4.
Asas
Kesatuan dan Persatuan.
5.
Asas
Empirisme.
6.
Asas
Keakraban.
7.
Asas
Integritas.[8]
G.
Penerapan MBS dalam upaya peningkatan mutu.
Dalam
upaya peningkatan mutu sekolah, maka diperlukan adanya penerapan MBS dalam
setiap sektor, dan membutuhkan kiat dan strategi khusus yang perlu dilakukan
oleh sekolah. Berikut ini kiat dan strategi khusus yang dapat digunakan dalam
menerapkan MBS, yaitu :
1.
Merumuskan
dan menyepakati standar lulusan yang diharapkan bersama dengan indikator dan
target yang jelas yang merujuk pada standar nasional pendidikan.
2.
Menetapkan
strategi yang akan sekolah terapkan untuk menghasilkan lulusan yang diharapkan
dan relevansinya dengan peningkatan kebutuhan kurikulum, kompetensi pendidik,
tenaga kependidikan, sarana-prasarana, dan pembiayaan.
3.
Meningkatkan
daya dukung informasi dengan cara memindai kekuatan, kelemahan lingkungan
internal serta memindai peluang dan ancaman lingkungan eksternal.
4.
Meningkatkan
efektifitas komunikasi pihak internal dan eksternal sekolah dalam upaya
meningkatkan pemahaman mengenai tugas dan tanggung jawab masing-masing, serta
dalam membangun dan mengembangkan kerja sama memberikan pelayanan pendidikan
secara optimal kepadan siswa.
5.
Meningkatkan
daya kolaborasi sekolah dalam menerapkan keputusan bersama ini sebagai bagian
dari upaya melibatkan seluruh warga sekolah agar memiliki daya partisipasi yang
kuat untuk mengubah kebijakan menjadi aksi.[9]
G.
Merumuskan MBS yang sesuai dengan kultur pendidikan Indonesia.
Dalam
hal perumusan MBS, maka diperlukan adanya Manajemen Strategis. Konsep Manajemen
Strategis berawal dari bidang Ekonomi dan Bisnis, kemudian oleh Rowe
(1989), dikembangkan kedalam empat model Manajemen Strategis, yang
terdiri dari :
1.
Strategic Planning
(Perencanaan Strategi).
2.
Resource Requirement
(Pengelolaan Sumber Daya).
3.
Organizational Structure (Struktur
Organisasi).
4.
Strategic Control (Kontrol
Strategi).
Berkaitan
dengan Konsep Manajemen Strategis itu, MBS dalam penyelenggaraannya
tetap berpegang pada prinsipnya yaitu memperoleh delegasi kewenangan yang
bertumpu pada sekolah dan masyarakat secara optimal. Dengan penggunaan strategi
ini diharapkan pengelolaan sekolah akan lebih menjauh dari sistem Birokrasi
Sentralistik.
Secara
faktual kemampuan sekolah dan dukungan masyarakat terhadap sekolah amat
bervariasi, hal ini sangat tergantung pada cara pandang masyarakat dan juga
tingkat perekonomian masyarakat tersebut.[10]
H.
Manajemen Mutu untuk Sekolah dan Kependidikan
Menurut Edward Sallis dalam buku TQM in Education, mengungkapkan
bahwa dalam pendidikan penggunaan kata Pelanggan dibedakan menjadi tiga, yaitu
: Pelanggan utama (Pelajar/penerima jasa), Pelanggan kedua (Orang tua,
Birokrasi, sponsor), dan Pelanggan ketiga (Pemerintah dan Masyarakat).
Keragaman pelanggan tersebut membuat seluruh institusi pendidikan
harus lebih memfokuskan perhatian mereka pada keinginan para pelanggan dan
mengembangkan mekanisme untuk merespon mereka.[11]
Penerapan
MBS dilihat dari level sekolah[12]
PENUTUP
Fungsi
manajemen sangat vital bagi dinamisasi pendidikan. MBS menggerakkan partisipasi
seluruh elemen pendidikan untuk memberikan kontribusinya sesuai bidangnya
masing-masing demi kemajuan pendidikan.
MBS memberikan keleluasaan secara otonom kepada sekolah untuk
merencanakan program yang konstektual dan aktual, sesuai dengan problem dan
potensi daerah sekitar dan mempunyai manfaat besar bagi lingkungan, mendorong
partisipasi terbuka, dan menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Kepala sekolah menjadi kunci dari proses realisasi dalam MBS.
Kepala sekolah yang visioner, demokratis, inspiratif, dinamis, dan progresif
akan menggerakkan SDM yang ada mulai dari komite sekolah, jajaran pimpinan,
guru, karyawan, murid dan masyarakat sekitar untuk mencurahkan segala kemampuannya
demi pengembangan sekolah dalam semua aspek kehidupan.
Prinsip-prinsip MBS yang meliputi otonomi, fleksibilitas,
partisipasi dan inisiatif dijadikan sebagai spirit utama dalam menjalankan MBS.
Keempat prinsip tersebut sangat mendasar karena otonomi akan melahirkan
demokrasi, dari fleksibilitas akan lahir program-program kontekstual-aktual,
dar partisipasi akan lahir kebersamaan dan prestasi, dan dari inisiatif akan
lahir kreativitas, inovasi, dan progresi. Dalam hal ini kepala sekolah sebagai
pihak yang paling bertanggung jawab dalam mengaplikasikan empat prinsip utama
ini dalam mengelola sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Asmani, Jamal Ma’mur. 2012. Tips Aplikasi Manajemen Sekolah. Cetakan
I.
Jogjakarta : DIVA Press.
Sagala, Syaiful. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah dan
Masyarakat : Strategi
Memenangkan Persaingan Mutu. Cetakan I. Jakarta : PT. Nims
Multima.
Sallis, Edward. 2012. Total Quality Management in Education.
Cetakan XVI.
Jogjakarta : DIVA Press.
Wahyuni. 2009. Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Organisasi
Pembelajar
(Learning Organization). Cetakan II. Jakarta : CV. Alfabeta.
[1] Dr. Syaiful
Sagala, M.Pd. Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat : Strategi
Memenangkan Persaingan Mutu. Cetakan I. (Jakarta : PT. Nims Multima,
2004), hlm 129.
[2]
Dr. Syaiful
Sagala, M.Pd. Op Cit. hlm 129-130.
[4] Dr. Syaiful
Sagala, M.Pd. Op Cit. hlm 144-145.
[5]
Dr. Syaiful
Sagala, M.Pd. Op Cit. hlm 134-135.
[7] Jamal Ma’mur
Asmani. Tips Aplikasi Manajemen Sekolah. Cetakan I. Jogjakarta :
DIVA Press, 2012), hlm. 63.
[8] Dr. Wahyuni. Kepemimpinan
Kepala Sekolah dalam Organisasi Pembelajar (Learning Organization).
Cetakan II. (Jakarta : CV. Alfabeta, 2009), hlm. 64-67.
[9] Jamal Ma’mur
Asmani. Op. Cit,. hlm. 115-116
[10] Jamal Ma’mur
Asmani. Op. Cit,. hlm. 149-151
[11] Edward Sallis. Total
Quality Management in Education. Cetakan XVI. (Jogjakarta : DIVA Press,
2012), hlm. 67-69
[12] Dr. Syaiful
Sagala, M.Pd. Op Cit. hlm 152-153.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan bagi yang berminat
Check this out and Comment this